Ruang, Lokalitas, dan Bisnis Kreatif
8 April 2025
Salah satu usaha yang lumrah ditemui ketika menyusuri jalan di kota adalah penjual makanan dan minuman di gerobak yang “nangkring” di pinggir jalan, khususnya pada malam hari. Menu yang ditawarkan berkisar pada nasi dengan bermacam-macam lauk dalam bungkusan kecil—dikenal dengan sego kucing—serta hidangan sampingan seperti tahu, tempe, dan berbagai jenis sate. Konsumennya bisa ditemukan duduk di berbagai tikar yang tersebar di sekitar sang penjual. Usaha makanan seperti ini dikenal luas dengan sebutan angkringan, yaitu bisnis makanan lokal yang berkembang dari daerah sekitar Jawa Tengah, namun kini telah menyebar ke berbagai penjuru Indonesia. Bagi wisatawan yang datang ke kota-kota seperti Yogyakarta dan Solo, angkringan merupakan ikon yang wajib dikunjungi. Bagi masyarakat daerah-daerah tersebut, angkringan merupakan bagian dari kultur keseharian. Sebagai usaha makanan, angkringan membuka interaksi antar anggota masyarakat dalam ruang informal yang dibentuknya.
Menelisik lebih dalam usaha angkringan, terdapat akar lokalitas yang kuat dari model bisnisnya. Kata ngangkring yang merupakan asal istilah angkringan berasal dari bahasa Jawa yang memiliki arti “singgah untuk sementara”. Bukan untuk benar-benar mengisi perut, fungsi lebih signifikan angkringan adalah sebagai tempat mengisi waktu. Yang awalnya kerap meramaikan angkringan adalah mereka yang bekerja di malam hari serta pedagang pasar. Seiring menjamurnya angkringan, demografi konsumennya pun meluas. Angkringan menjadi ruang yang egaliter di mana pengunjung dari latar belakang apa pun bisa sama-sama melepas penat sambil berbincang ditemani hidangan yang ditawarkan.
Interaksi penjual dan konsumen dalam usaha angkringan ini menunjukkan bagaimana bisnis yang melokal, dekat dengan masyarakat, dapat menjadi bagian tidak terpisahkan dari keseharian. Angkringan hadir merespons core value yang ada dalam rutinitas masyarakat, bagaimana mereka mengisi waktu dengan makan dan minum, serta suasana jalanan di kota pada malam hari. Dalam dunia bisnis, pemasaran atau kehadiran suatu produk perlu diselaraskan dengan core value suatu kota atau bisnis—seperti yang dikemukakan Handoko Hendryono pada siniar JalinTalks bersama Hilmar Farid. Layaknya angkringan, jenama-jenama lokal perlu berlandaskan pada kebutuhan masyarakat jika ingin mengakar secara kuat.
“Local is the new global” merupakan jargon yang diangkat oleh Handoko dalam perbincangan di JalinTalks, mengomunikasikan bagaimana lokalitas bisa berperan dan membentuk pragmatisme baru dalam bisnis kreatif yang terus berkembang. Lokalitas perlu hadir sebagai identitas dinamis yang dapat memiliki nilai ekonomi—contoh praktisnya adalah bandana kain tenun atau obi dari batik yang mempertemukan budaya lokal dan internasional. Bandana atau obi mungkin lebih lumrah dikenakan di keseharian dibanding batik atau kain tenun tradisional—maka, perpaduan elemen-elemen ini bisa menyisipkan lokalitas dalam bagaimana kita berpakaian sehari-hari. Bagi Handoko Hendryono, bisnis kreatif yang mengedepankan semangat lokalitas bisa memberikan jalan untuk mempertahankan “keindonesiaan” secara autentik.
Seperti angkringan yang awalnya berbentuk pikulan hingga kemudian bertransformasi menjadi gerobak di jalanan—bahkan kini bisa berbentuk warung atau tempat makan konvensional dalam bangunan—terdapat tantangan soal ruang yang perlu dihadapi bisnis kreatif. Ruang yang dimaksud oleh Handoko adalah ruang untuk mengembangkan potensi lokalitas dari bisnis kreatif, yang sayangnya keberadaannya masih minim. Padahal, hal ini adalah wadah yang menampung keberlangsungan bisnis kreatif. Common space seperti M Bloc Space di Blok M, Jakarta Selatan, menjadi salah satu contoh ruang untuk mengembangkan bisnis kreatif. Penyediaan tempat berbasis ruang kumpul beserta beragam bisnis kreatif di dalamnya menjawab kebutuhan anak muda secara dua arah—konsumen mendapat ruang untuk kegiatannya, sedangkan bisnis dapat menjangkau konsumennya secara nyata. Dalam JalinTalks, Handoko menyatakan bahwa ia melihat potensi dari anak muda dalam pengembangan hingga promosi bisnis kreatif.
Kembali ke angkringan, kadang yang lebih kuat berada di benak adalah persepsi kita tentang angkringan itu sendiri—interaksi dan cerita yang terjadi di angkringan, hingga suasana dan kehangatannya. Hal ini menunjukkan bagaimana narasi atau storytelling begitu berperan dalam mempertahankan dan mengembangkan lokalitas pada bisnis kreatif, seperti yang disampaikan Handoko di JalinTalks. Untuk menjawab kebutuhan masyarakat yang selalu berubah, narasi dengan lokalitas sebagai intisarinya merupakan kunci. (MT/AM)
Artikel ini mengutip percakapan antara Handoko Hendroyono dan Hilmar Farid dalam siniar JalinTalks with Hilmar Farid. Percakapan penuhnya dapat didengarkan di episode “Handoko Hendroyono: Memaknai Lokalitas dalam Bisnis Kreatif | JalinTalks w/ Hilmar Farid Ep #6”