Budaya Fashion 100% Indonesia
13 February 2025
“Saya memang ditakdirkan menjadi seorang petarung.”
Merdi Sihombing
Melalui caranya, Merdi Sihombing masih terus bertarung menghadapi perubahan iklim yang terjadi secara global sekaligus untuk menjaga tradisi lokal yang perlahan-lahan mulai menghilang. Sebagai seorang perancang busana, artisan tekstil, dan pegiat komunitas, sejak awal kariernya Merdi selalu mempromosikan beragam tradisi lokal Indonesia dalam busana yang ia rancang, menafsirkannya kembali dalam mode kontemporer. Selain menjaga agar tradisinya tidak hilang, penggunaan tekstil tradisional dan pewarna alami juga menghasilkan suatu fesyen yang berkelanjutan (sustainable fashion) dan ramah lingkungan (eco-fashion). Dua hal yang selalu ia tekankan dalam setiap karyanya.
Telah berkarya selama lebih dari dua dekade, rasanya tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa Merdi adalah perintis fesyen berkelanjutan dan ramah lingkungan di Indonesia. Namun perjalanannya berkarier sebagai perancang busana bukan sesuatu yang ia rancang dari awal, meski ia telah melakukannya “tanpa sadar” sejak kecil.
“Ih keren banget ya, kamu beli di mana?” ucap Merdi menirukan pertanyaan orang-orang setiap melihat busana yang ia kenakan setiap mengikuti berbagai perlombaan menyanyi atau membaca puisi dan tampil di televisi sejak kecil hingga usia remaja. Pertanyaan tersebut selalu ia balas dengan tertawa karena busana ini tidak ia beli, melainkan ia rancang sendiri.
Selepas SMA, Merdi yang lahir dan besar di Medan merantau ke Jakarta untuk berkuliah di Jurusan Sastra Jepang, Universitas Indonesia. Namun kondisi perekonomian membuatnya harus mengakhiri sekolahnya yang baru berjalan selama tiga semester. “Akhirnya saya mencoba yang lain, saya sebagai penyanyi di kafe-kafe, apa saja saya lakukan”, ungkap Merdi.
Kesempatannya berkarier menjadi seorang perancang busana profesional datang ketika ia pergi ke JCC untuk melihat sebuah pameran oleh Ikatan Perancang Busana Madya (IPBMI) yang beranggotakan para perancang busana top Indonesia. Merdi yang kebetulan kenal dengan adik dari Chossy Latu, seorang perancang busana terkenal, memutuskan untuk membantu melakukan kegiatan pameran. Hal ini disadari oleh Chossy, yang kemudian meminta Merdi untuk menjadi asistennya.
Dari sini Merdi memusatkan perhatiannya untuk terus dapat berkarier dalam industri fesyen—merajut pengetahuan yang didapatkannya dari Chossy dan pendidikan formal di BUNKA, ESMOD, dan kemudian IKJ, untuk dapat menjadi seorang perancang busana yang memiliki identitasnya sendiri.
Berawal dari keinginannya untuk mengangkat fesyen berbasis budaya, Merdi yang memutuskan untuk mempelajarinya di IKJ juga menemukan hal lain yang menurutnya tidak kalah menarik, yaitu mata kuliah yang mengajarkan proses mewarnai dengan pewarna alami. “Dulu belum ada orang tertarik di situ. Saya tertarik banget di situ. Saya pikir, ini luar biasa”, ucap Merdi, yang kemudian mulai berkelana keliling Indonesia untuk mempelajari dan mendokumentasikan berbagai proses mewarnai dengan pewarna alami. Terlebih isu mengenai pewarna alami yang mulai hilang dan dampak buruk pewarna buatan terhadap lingkungan sudah marak dalam dunia fesyen pada masa itu. “Waktu itu orang lagi sibuk banget bicara tentang perubahan iklim, sekarang baru heboh.”
Menurut Merdi, sebagai seorang perancang busana yang terus mengikuti perkembangan isu dalam industri fesyen, isu mengenai fesyen berkelanjutan dan ramah lingkungan saat ini telah berkembang lebih luas menjadi fesyen berbasis budaya lokal (“indigenous fashion”), di mana isu fesyen keberlanjutan dan ramah lingkungan—bersama isu lain—berada di dalamnya.
“Saya merasa Indonesia harus menjadi hub-nya lho”, ucap Merdi terkait fesyen berbasis budaya lokal. Merdi selalu membawa berbagai macam kain tenun Indonesia setiap mengikuti pagelaran fesyen internasional. Banyaknya ragam kain ini membuat kagum teman-teman mancanegara Merdi, “saya bilang sama mereka, ini cuma sedikit. Masih buanyak. Saya ceritain tentang semuanya”, ucap Merdi. Dari cerita Merdi, teman-temannya berkesimpulan bahwa fesyen berkelanjutan sebenarnya adalah budaya Indonesia. Suatu kesimpulan yang disetujui Merdi namun sayangnya, masih belum disadari oleh banyak masyarakat Indonesia sendiri.
“Itu benang dari India, terus dibawa pakai kapal ke Singapuraatau Malaysia, dari situ dibawa ke Indonesia, di Indonesia ke sentra-sentra, coba hitung itu carbon footprint-nya”, ungkap Merdi menjelaskan cara kerja industri kain tenun di Indonesia. Menurut Merdi, praktik fesyen berkelanjutan tidak sebatas mengenakan busana yang ramah lingkungan, tetapi yang juga memperhatikan proses keseluruhan busana itu dibuat, dari hulu hingga hilir.
Dengan sumber daya yang Indonesia miliki, Merdi berpendapat bahwa Indonesia seharusnya bisa mempraktikkan fesyen berkelanjutan dengan benar. “Bukan made in Indonesia lagi, tapi 100% Indonesia”, di mana seluruh proses pembuatan busana, dilakukan di Indonesia menggunakan bahan yang ditemukan di Indonesia. Hal ini yang dimaksud Merdi dan teman-teman mancanegaranya ketika berkesimpulan bahwa fesyen berkelanjutan sebenarnya adalah budaya Indonesia.
Meski ia menyadari bahwa fesyen pada akhirnya adalah sebuah gaya hidup, sebuah pilihan yang tidak dapat dipaksakan, tidak membuat Merdi lelah untuk mempromosikan “fesyen 100% Indonesia”, sebuah fesyen yang berkelanjutan dan ramah lingkungan, ke lintas generasi dengan berbagai cara.
“Ini ‘kan kita ketakutan dengan namanya climate change. Sudah bukan di depan mata, sudah terjadi!” (AR/AM)
Artikel ini mengutip percakapan antara Merdi Sihombing dan Hilmar Farid dalam siniar JalinTalks with Hilmar Farid. Percakapan penuhnya dapat didengarkan di episode “Merdi Sihombing: Budaya Fashion 100% Indonesia | JalinTalks w/ Hilmar Farid Ep #3”