Meredam Wabah Kesepian Melalui Partisipasi Kebudayaan
9 May 2025
Di tengah gegap gempita kota dengan segala keriuhannya, jutaan orang hidup dalam kesendirian. Insan urban terbangun dari sepetak kamar, bergegas kerja mengendarai motor atau mobil pribadi. Jika pun menggunakan transportasi umum, banyak dari mereka yang tenggelam dalam layar gawai dan earphone untuk meredam segala kebisingan dan menghindari interaksi. Dengan segala kemudahan yang ditawarkan kehidupan modern dan sistem yang menyokongnya, manusia semakin mudah bertahan hidup hanya dengan seorang diri saja. Namun, segala kemudahan ini kemudian mengaburkan kesadaran akan adanya interdependensi antar individu, padahal menurut sosiolog Emile Durkheim, interdependensi antar individu ini merupakan prasyarat yang mendefinisikan kohesi sosial—kondisi di masyarakat yang sarat dengan rasa saling percaya dan koneksi yang berarti antar sesama individu.
Ketika kohesi sosial semakin terkikis, maka yang terjadi adalah fenomena atomisasi sosial yang timbul dari kurangnya koneksi sosial dan ia menjadi kekuatan yang memfragmentasi kehidupan bermasyarakat. Jika dilihat permukaannya saja, kehidupan hari ini bisa saja terlihat normal, namun, di balik itu, tersimpan berbagai permasalahan terkait koneksi antar sesama masyarakat. Seorang sosiolog dari Finlandia, Erik Allardt, menyatakan bahwa terdapat tiga dimensi kemakmuran (welfare) bagi manusia, yang pertama adalah to have (dimensi ekonomi atau material), yang kedua adalah to love (dimensi yang mengacu pada relasi sosial), dan yang ketiga adalah to be (dimensi yang mengacu pada kualitas manusia terkait hubungan individu pada masyarakat, seperti kebutuhan untuk aktualisasi diri). To have, to love, to be: tiga aspek yang ketika salah satunya saja absen, maka kemakmuran dalam artian yang sesungguhnya sulit untuk tercapai.
Di realita saat ini, penekanan yang begitu besar ditujukan untuk memenuhi aspek to have, namun kita sering abai untuk “mencinta” dan “menjadi”. Seakan semua manusia hanya tercipta untuk mencari uang dan bertahan hidup. Cara pandang seperti demikian membuat seorang individu merasa begitu mudahnya tergantikan dan merasa apa yang mereka lakukan seakan tidak berarti, seperti sebutir sekrup dalam sebuah mesin raksasa, jika satu sekrup rusak, tinggal diganti dengan sekrup lainnya. Ia hidup sebagai satu sekrup yang teralienasi dari sekrup-sekrup lainnya, juga teralienasi dari mesin yang menjadi inangnya—division of labor. Alienasi tersebut berjalan beriringan dengan fenomena atomisasi sosial di masyarakat hingga keduanya memberikan feedback loop yang memecah tubuh kolektif besar masyarakat menjadi fragmen-fragmen kecil yang menyendiri, seperti bibit-bibit kesepian yang tersemai di petak-petak kamar dan akhirnya mengakar.
Di tahun 2023, World Health Organization (WHO) mendeklarasikan bahwa kesepian dan isolasi sosial telah menjadi ancaman kesehatan global. Bahkan, kesepian juga telah dinyatakan sebagai epidemi di berbagai belahan dunia. WHO menyamakan dampak mematikan dari kesepian ini setara dengan merokok 15 batang dalam satu hari. Di Jepang, dikenal istilah hikikomori, yang mengacu pada fenomena di mana seseorang memilih untuk hidup menyendiri di kamar tanpa berinteraksi dengan manusia. Begitu pula dengan fenomena godoksa di Korea Selatan yang berarti lonely death—di mana seseorang meninggal sendiri dalam senyap dan sunyi, tanpa diketahui oleh siapapun, dan biasanya perlu waktu berhari-hari atau bahkan berminggu-minggu sebelum jasadnya ditemukan dan kematiannya diketahui. Sementara itu di Indonesia, sebuah riset dari Health Collaborative Center (HCC) juga menyatakan bahwa separuh dari warga Jabodetabek mengalami kesepian dalam tingkat/derajat sedang dan tinggi. Begitu daruratnya wabah kesepian ini hingga WHO pun merancang WHO Commission on Social Connection yang beroperasi dari 2024–2026, dengan tujuan utama untuk menanggulangi dampak fisik dan mental dari isolasi sosial dan kesepian juga mempromosikan koneksi sosial yang berarti. Badan tersebut juga mengkampanyekan persoalan kesepian dan isolasi sosial ini supaya dapat direkognisi secara global. Beberapa negara pun telah memiliki kementerian tersendiri untuk menanggulangi masalah kesepian, misalnya Ministry of Loneliness di Inggris, juga kementerian dan lembaga nasional serupa di Jepang, Belanda, dan Swedia.
Lembaga-lembaga tersebut tentunya bekerjasama dengan badan kesehatan dalam melakukan intervensi pengentasan kesepian, terlebih melalui aspek medis dan psikologis. Namun, upaya yang dilakukan untuk mengobati dan mencegah kesepian tentu saja harus dilakukan secara holistik, sama halnya dengan penanganan pasien depresi, misalnya, selain diperlukan obat untuk mengatasi chemical imbalance di otak sang pasien, penting juga upaya-upaya pemulihan yang berangkat dari aspek sosial dan keseharian. Terlebih dalam hal kesepian dan isolasi sosial, diperlukan upaya-upaya yang bisa menumbuhkan interaksi yang berarti di antara masyarakat. Salah satu upaya tersebut bisa mewujud dalam pembukaan ruang-ruang yang bisa memantik partisipasi kebudayaan di masyarakat.
Pada era kapitalisme mutakhir, produk-produk kebudayaan memiliki tempat yang berbeda di masyarakat. Saat ini, kebanyakan individu berpartisipasi dalam kebudayaan secara solipsistik, hanya sebagai konsumen. Kondisi tersebut justru menghambat potensi praktik budaya—beserta produk-produknya—sebagai kekuatan yang bisa memantik koneksi yang berarti antar manusia. Di tengah konteks zaman seperti demikian, praktik-praktik kebudayaan yang partisipatoris dan melibatkan interaksi antar manusia menjadi lebih terasa urgensinya. Jika melihat ke dalam, masyarakat Indonesia telah memiliki banyak praktik dengan nilai-nilai kolektif, seperti misalnya gotong royong. Namun, kebanyakan dari kita melihat gotong royong dalam pemaknaan yang satu dimensi saja, misalnya untuk bersih-bersih lingkungan, atau mengerjakan hal-hal yang bersifat manual labor. Padahal, gotong royong juga bisa dimaknai dan diimplementasikan dalam konteks yang lebih luas, misalnya dalam hal menyangkut praktik kebudayaan.
Praktik kebudayaan yang dilakukan secara kolektif dan inklusif dapat memicu a sense of belonging yang juga menjawab kebutuhan mendasar manusia untuk memiliki komunitas dan relasi sosial yang berarti. Selain itu, acara-acara kebudayaan dalam beragam bentuknya seperti pertunjukan, konser, dan lainnya, bisa memicu apa yang diistilahkan Emile Durkheim sebagai collective effervescence, yaitu sebuah perasaan bahagia dalam kebersamaan yang dirasakan ketika orang-orang berkumpul dan digerakkan oleh satu tujuan yang sama. Pengalaman akan collective effervescence bisa menjadi tali yang membantu mempererat kohesi sosial di masyarakat.
Yang menjadi tantangannya adalah, bagaimana caranya untuk bisa membuat pengalaman tersebut menjadi lebih inklusif, bukan hanya menjadi ruang aman bagi masyarakat dari beragam identitas (ras, gender, dan lainnya), tapi juga terjangkau/accessible untuk berbagai kalangan ekonomi. Faktor lainnya yang penting adalah bagaimana kegiatan kebudayaan partisipatoris tersebut dapat relevan menjawab kebutuhan zaman dengan mempertimbangkan potensi dari medium-medium kebudayaan kontemporer—tari modern, street art, musik elektronik, seni rupa kontemporer, fashion, kuliner, dan lain sebagainya. Ketika kebudayaan dan partisipasi bisa dimaknai secara lebih luas dan peka terhadap perkembangan zaman, maka ia dapat memiliki dampak positif yang meninggalkan impresi mendalam di masyarakat; tua atau muda, kaya atau miskin.
Upaya-upaya menciptakan praktik kebudayaan yang partisipatoris juga telah banyak dilakukan berbagai komunitas dan bahkan lembaga negara di Indonesia. Sebagai contohnya, terdapat program bernama Olahrasa, sebuah program yang bertujuan untuk membuka ruang-ruang kebudayaan di tingkat kelurahan, diinisiasi oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan, berkolaborasi dengan Pemerintah Daerah Kota Jakarta. Pada program tersebut, warga bisa secara langsung berpartisipasi, difasilitasi oleh seniman dan budayawan, dalam kegiatan budaya yang relevan dengan kawasannya masing-masing—musik, tari, kuliner, kerajinan, yang tidak selalu harus tradisional, tetapi dekat dengan keseharian masyarakatnya.
Memperkuat kohesi sosial dan menanggulangi kesepian tentunya tidak bisa dicapai hanya dengan upaya dari satu pihak saja, tetapi diperlukan upaya yang menyebar dan konsisten untuk menanamkan nilai kolektif yang membudaya di masyarakat; di mana posisi individu bukan hanya sebatas konsumen dari produk-produk budaya, namun juga menjadi partisipan yang aktif untuk memberikan kontribusi yang berarti dalam kebudayaan. (SN/AM)