Menelisik Jejak Budaya dalam Tata Bangunan

Marceline Tukan

13 February 2025

Yogyakarta merupakan tempat napak tilas dan rekreasi yang lekat dengan narasi sejarah, budaya, serta mitos yang berkembang di masyarakat. Jika mengunjungi Daerah Istimewa Yogyakarta, tempat-tempat seperti Malioboro, Keraton Yogyakarta, Taman Sari, sampai Candi Borobudur menjadi destinasi wisata yang digemari oleh turis. Di antara tempat-tempat tersebut, menariknya, ada satu cerita yang beredar mengenai garis linear antara Gunung Merapi sampai Pantai Selatan. Garis linear tersebut bermula dari Gunung Merapi, Tugu Yogyakarta, kemudian Alun-Alun Lor serta Keraton, Alun-Alun Kidul, dan berakhir di Pantai Selatan. Garis ini bercerita tentang perjalanan hidup yang dimulai dari kelahiran dan diakhiri oleh kematian. Simbol antara kelahiran dan kematian melekat pada bangunan serta objek alam  yang membentang pada garis ini—bermula dari laut dan diakhiri oleh gunung Merapi yang menjulang tinggi tanda kedekatan dengan yang Maha Kuasa. Sejarah, kepercayaan masyarakat setempat, hingga nilai yang mereka anut terekam dalam narasi tersebut. Di sini, Yogyakarta menjadi contoh di mana pembangunan, perencanaan, dan tata kota melewati proses konsiderasi nilai yang hadir di masyarakat—tak hanya semata-mata sketsa, perancangan, lalu pembangunan, namun juga ada unsur simbolik budaya masyarakat yang terkandung.

Arsitektur sebagai sebuah proses ditentukan oleh konsiderasi akan kebutuhan serta keadaan. Di Bali, kita melihat bagaimana tidak ada bangunan-bangunan tinggi seperti di kota besar layaknya Jakarta. Bangunan yang didirikan tidak boleh menyamai ketinggian dari Gunung Agung, maka Bali memberlakukan regulasi pembangunan maksimal hanya dengan tinggi 15 meter, atau sampai empat lantai saja. Hal ini terjadi guna menyelaraskan nilai yang dianut masyarakat dengan kebutuhan akomodasi spasial tiap bangunan—baik untuk tempat tinggal sampai area komersial. Selain tetap mempertahankan nilai budaya, ada nilai humanis dari faktor keamanan serta relasi antara manusia dengan alam.

Mengamati lebih dalam arsitektur yang berkembang di Indonesia atau arsitektur Nusantara, terdapat perpaduan dari ilmu bangunan secara praktis dengan kearifan lokal yang kita miliki. Inilah yang disampaikan arsitek Yori Antar dari Han Awal & Partners dalam JalinTalks bersama Hilmar Farid. Perpaduan antara ilmu bangunan, dampak sosial pembangunan pada masyarakat, serta identitas masyarakat yang terkandung dalam nilai mendefinisikan pendekatan arsitektur Nusantara. Arsitektur tradisional yang berkembang di Indonesia tak semerta-merta bertahan untuk menghentikan perkembangan arsitektur modern. Di sisi lain, arsitektur modern puntak hadir menghilangkan yang tradisional. Yori Antar mengemukakan, keduanya dapat disinergikan sebagai ciri khas Nusantara dalam bangunan. 

Tantangan yang hadir sekarang terletak pada proses mempertahankan dan menginkorporasikan aspek-aspek arsitektur tradisional ke arsitektur kontemporer—di mana skeptisisme akan nilai-nilai budaya perlahan memudarkan ciri khas masyarakat dalam bentuk bangunan. Bangunan tradisional dilihat hanya sebagai peninggalan zaman “kebodohan” atau “kegelapan”, seperti yang dibicarakan Yori Antar pada JalinTalks. Padahal, kearifan lokal yang terkandung dalam arsitektur tradisional juga dibangun dengan landasan keilmuan tersendiri. Kondisi ini mungkin juga diikuti rasa takut masyarakat adat akan hilangnya nilai budaya pada bangunan seiring perkembangan zaman. Meski begitu, tujuan akhir dari kolaborasi ini bukan untuk menghilangkan budaya lama dan melebihkan yang baru. Tujuannya adalah mempertahankan yang lama selaras dengan ilmu modern.

Sebutan arsitektur vernakular kerap muncul dalam diskursus bangunan yang berkembang di Indonesia, utamanya pada rumah adat atau pembangunan yang berlandaskan kebutuhan masyarakat setempat seperti jembatan. Sederhananya, arsitektur vernakular merupakan bentuk arsitektur yang menggunakan materi yang menggunakan material lokal, dengan teknik dan pengetahuan yang juga datang secara lokal. Dalam proses pembangunannya, tentu yang terlibat langsung adalah masyarakat lokal yang telah familiar dengan budaya yang melahirkan teknik pembangunan bersangkutan, selain juga bahan bangunan yang tersedia dan cocok untuk digunakan di daerah masing-masing. Pembangunan dengan pendekatan ini kerap berlandaskan budaya gotong royong. Mulai dari memanen sampai membangun rumah, bekerja secara bersama-sama untuk sampai pada satu tujuan merupakan suatu nilai yang membangun eksistensi masyarakat Indonesia.

Arsitektur tradisional yang kaya akan budaya seperti gotong royong, seharusnya bisa bergandengan dengan arsitektur modern yang mengedepankan teknologi dan ketahanan jangka panjang. Menelisik kayanya budaya desain vernakular di Indonesia, masih banyak potensi yang belum direalisasikan dalam arsitektur lokal—seperti budaya gotong royong (intangible) dan pemanfaatan material lokal (tangible) yang dapat menjadi landasan proses transformasi arsitektur Nusantara ke masa depan. Seperti yang dilakukan oleh Yori Antar, kita semua mungkin perlu memandang ke tradisi lokal untuk menemukan kebaruan. (MT/AM)

Artikel ini mengutip percakapan antara Yori Antar dan Hilmar Farid dalam siniar JalinTalks with Hilmar Farid. Percakapan penuhnya dapat didengarkan di episode “Yori Antar: Menjawab Tantangan Arsitektur Nusantara | JalinTalks w/ Hilmar Farid Ep #5