Pangan Musnah, Budaya Punah

Andiar Rasheed

13 February 2025

Policy kita terkait food security itu terlalu sentralistis.”

Helianti Hilman

Begitulah tanggapan yang diberikan oleh Helianti Hilman, pendiri Javara dan Sekolah Seniman Pangan, ketika dimintai pendapatnya mengenai permasalahan krisis pangan yang—menurut FAO—akan dihadapi oleh masyarakat global di tahun 2050.

Menurut Helianti, masalah krisis pangan ini terlampau luas untuk diselesaikan dengan kebijakan yang terpusat. Kebijakan yang terlalu terpusat, bukan hanya tidak akan menyelesaikan krisis pangan, namun juga berpotensi menciptakan masalah baru. “Jangan kita merasa sok-sokan bisa mengontroldan kasih makan seluruh orang di seluruh dunia”, ujarnya.

Kritik Helianti ini datang dari pengalamannya selama puluhan tahun berinteraksi dengan para petani kecil. Mengambil contoh, salah satu perjalanannya membawa Helianti ke Kasepuhan Sirnaresmi di Kasepuhan Banten Kidul. “This satu desa punya cadangan padi yang cukup untuk 20 tahun ke depan. Sekarang saya tanya, negara mana yang punya cadangan [pangan] sampai 20 tahun ke depan?” ucapnya.

Helianti menceritakan bahwa kondisi tersebut dapat dicapai karena masyarakat Kasepuhan Sirnaresmi menggunakan kearifan lokal untuk memenuhi kebutuhan pangannya. Kearifan lokal ini—yang juga Helianti temukan di banyak komunitas lokal lainnya di Indonesia—dianggapnya menjadi jawaban dalam menghadapi krisis pangan. “Biarlah setiap community diberikan kesempatan untuk membangun kapasitasnya di dalam menciptakan food security yang didasarkan pada kedaulatan pangan, dengan sumber bahan pangan yang memang ada di lokalnya.”

Interaksi Helianti dengan para petani kecil tersebut sebenarnya tidak dimulai karena urusan pangan atau bisnis, melainkan hukum. Sebelum terjun ke dalam dunia bisnis pangan, Helianti adalah seorang pengacara dan konsultan hukum. Namun, kehidupan Helianti memang tidak pernah jauh-jauh dari makanan.

Sebagai “tukang makan, tukang masak”, Helianti selalu menyempatkan diri untuk mengunjungi pasar lokal sekaligus mencicipi makanan khas setiap bepergian ke luar negeri. Lebih dari itu, masa kecil Helianti dihabiskan di Gunung Ijen. Jarak dari rumahnya ke kota terdekat yang memiliki pasar – 4 jam offroad—membuat Ibu dari Helianti menanam dan beternak sendiri sebagian besar kebutuhan pangan yang mereka perlukan. “Saya bahkan baru tahu kalau makanan itu harus beli di umur lima tahun, tadinya saya pikir tinggal ke belakang rumah, ambil, masak.” Kedua hal itu yang membuatnya selalu memiliki banyak ide untuk mengirimkan beragam hasil panen para petani kecil yang ditemuinya ketika sedang memberikan pendampingan hukum ke berbagai negara di seluruh penjuru dunia.

Ide-ide tersebut tampaknya berubah menjadi sebuah “misi pribadi” bagi Helianti ketika bertemu dengan para petani tua yang tergabung dalam Ikatan Petani Pengendalian Hama Terpadu, sebuah organisasi yang beranggotakan para petani yang masih mempertahankan kearifan lokal dan melakukan budidaya organik.

Banyak dari para petani tua tersebut yang sempat di penjara di awal masa Revolusi Hijau di Indonesia karena menolak untuk menanam “padi baru” di sawah mereka. Meski pada akhirnya terpaksa untuk menanam “padi baru” tersebut agar dapat keluar dari penjara, para petani ini tetap berupaya menjaga keberadaan benih-benih “padi lama” mereka dengan menanamnya di pot.

Meski demikian, dampak Revolusi Hijau terhadap berkurangnya ragam jenis padi—dan sumber pangan lainnya secara lebih luas—tetap tampak. Helianti memaparkan bahwa Revolusi Hijau membuat ragam jenis padi di Indonesia berkurang drastis menjadi hanya sekitar 1.200 dari yang sebelumnya 7.000.

“Sudah lupakan, kita-kita ini sudah sepuh. Sebentar lagi juga meninggal. Tapi bagaimana ‘subsidi Tuhan’ untuk Indonesia itu bisa passed on to the next generation”, ungkap Helianti merangkum pesan-pesan para petani tua tersebut.

Mendengar itu, Helianti menyadari bahwa cara untuk menjaga budaya pangan Indonesia yang sangat beragam ini untuk terus dapat hidup adalah untuk “membawanya keluar”.

Meninggalkan pekerjaannya sebagai seorang konsultan hukum, Helianti mendirikan Javara di tahun 2008 yang hingga saat ini bekerja sama dengan para petani, perimba, nelayan, serta perajin makanan untuk menjadi wadah bagi mereka untuk mengolah dan menyajikan produknya kepada masyarakat luas.

Di tahun 2017, Helianti melangkah lebih jauh dengan mendirikan Sekolah Seniman Pangan. Sekolah yang menggunakan pendekatan “turun langsung ke lapangan” ini bertujuan untuk menjadi fasilitas pembelajaran ekosistem bisnis kuliner berbasis pangan lokal, terutama bagi anak-anak para “seniman pangan”—istilah payung untuk menyebut para petani, perimba, nelayan, dan perajin makanan—sehingga dapat melanjutkan misi menjaga warisan budaya pangan Indonesia.

“Kalau pangan warisan dan budaya pangan kita tidak punah. Seharusnya masyarakat Indonesia tidak ada yang stunting, malnutrisi, kelaparan, dan miskin.” (AR/AM)

Artikel ini mengutip percakapan antara Helianti Hilman dan Hilmar Farid dalam siniar JalinTalks with Hilmar Farid. Percakapan penuhnya dapat didengarkan di episode “Helianti Hilman: Pangan Musnah, Budaya Punah | Jalin Talks w/ HilmarFarid Ep #1