Pengetahuan Alam yang “Bersembunyi” di Kearifan Lokal
13 February 2025
Masyarakat Indonesia cukup mengenal berbagai mitos dan kearifan lokal yang berkaitan dengan alam. Kita mengenal konsep hutan keramat, tempat di mana pohon-pohon rimbun dengan dedaunan hijau pekat berdiam. Akar-akarnya tua dan menjuntai, berbagai serangga berbaris, dan di malam hari, nyaring bunyi bersahutan. Adat istiadat mengatakan, siapa yang berani menebang pohon di hutan itu, maka akan dikutuk dan ditimpa kesialan. Di berbagai desa, masyarakat dilarang untuk memasuki apalagi mengusik hutan keramat untuk menghindari kemarahan sang “penunggu”.
Di masyarakat Dayak Ngaju, misalnya, terdapat konsep Pahewan atau hutan suci, dilandasi oleh kepercayaan Kaharingan, masyarakat dilarang mengusik kawasan Pahewan untuk menghindari celaka. Ada pula Hutan Adat Mude Ayek Tebat Benawa di Sumatera Selatan, yaitu hutan larang yang menjadi sumber air sekaligus rumah bagi beragam flora dan fauna langka, seperti pohon tenam, cemara, medang, juga karet hutan. Hewan-hewan seperti harimau sumatra, kijang, siamang, dan rusa pun masih berlalu-lalang di sana. Dari Sabang sampai Merauke, masih banyak hutan larang lain dengan kearifan lokalnya masing-masing yang terus dijaga kemurniannya hingga kini.
Di berbagai kebudayaan lokal Indonesia sejak dulu kala, alam selalu dilihat sebagai entitas yang sakral dan hidup, di mana manusia merupakan bagian yang tidak terpisahkan darinya. Dengan tradisi tutur di masyarakat Nusantara, pengetahuan-pengetahuan alam yang tumbuh di masyarakat seringkali mengadopsi bentuk-bentuk yang beragam; dongeng, mitos, dan kearifan lokal yang terus diwariskan merupakan enkapsulasi dari pengetahuan terhadap realita alam dan kehidupan masyarakat.
Selain mitos dan legenda mengenai hutan larang, contoh lainnya adalah pengetahuan soal jalur tektonik yang menghubungkan pantai selatan Jawa dan gunung berapi. Hal ini sempat dibahas oleh Bagus Muljadi, seorang peneliti dan ilmuwan dari University of Nottingham, di JalinTalks bersama Hilmar Farid. Bagus Muljadi mengatakan bahwa jauh sebelum ilmuwan Amerika Serikat mengetahui tentang jalur tektonik tersebut di tahun 1960-an, masyarakat Jawa masa lampau telah terlebih dahulu mengetahui melalui legenda terkait hubungan Nyi Roro Kidul dengan penunggu gunung berapi. Ia menambahkan bahwa setidaknya di abad ke-8, masyarakat Jawa sudah memiliki pengetahuan untuk mengantisipasi kegiatan tektonik jika terjadi gempa di laut selatan. Bagus Muljadi memiliki hipotesis bahwa masih banyak lagi kearifan lokal yang sebenarnya memiliki relevansi dalam dunia sains jika digali lebih dalam.
Di era modern, kearifan lokal seringkali dianggap sebatas takhayul. Sebatas dongeng-dongeng rakyat kuno yang terlahir dari imajinasi masyarakat, tidak lebih dari itu. Namun, dari temuan-temuan terbaru, banyak yang justru menggali ulang dan menyadari bahwa relik-relik kebudayaan masa lampau—berupa dongeng, mitos, nyanyian, karya seni, dan lainnya—ternyata mengandung pengetahuan yang mampu bertahan secara turun-temurun selama ratusan bahkan ribuan tahun.
Terdapat studi transdisiplin etnosains yang mencoba untuk menelaah kembali bagaimana pengetahuan-pengetahuan dapat terbentuk dalam berbagai konteks kebudayaan—di luar paradigma monolitik sains modern Barat. Melalui kerangka ilmiah ini, kita bisa menyadari begitu beragamnya wujud pengetahuan dan metode transmisi ilmu di dunia. Untuk menciptakan inovasi yang autentik dan bermanfaat, masyarakat Indonesia justru harus melihat ke dalam. Menelaah kembali dongeng-dongeng, mitos, cerita rakyat, yang ternyata memendam pengetahuan tersembunyi yang sebelumnya termarjinalisasi dari diskursus keilmuan. Dengan begitu—seperti yang dikatakan Bagus Muljadi di JalinTalks—Indonesia bisa menjadi negara yang berbangga, bukan karena wilayahnya yang besar, tapi bangga karena Indonesia merupakan negara besar dengan tanggung jawab, di mana orang-orang bisa mencari jawaban di sana, dan mendapatkan jawaban itu. (SN/AM)
Artikel ini mengutip percakapan antara Bagus Muljadi dan Hilmar Farid dalam siniar JalinTalks with Hilmar Farid. Percakapan penuhnya dapat didengarkan di episode “Bagus Muljadi: Menggali Kembali Potensi Lokal | JalinTalks w/ Hilmar Farid Ep #21”