Peran Memori Kolektif dalam Menghidupi Masa Kini dan Merajut Masa Depan
13 February 2025
Salah satu bentuk pengenalan sejarah Indonesia adalah melalui keberadaan arsip yang disimpan di tempat seperti museum atau dikumpulkan sebagai bahan riset maupun penelitian. Pengumpulan teks-teks lampau yang berpijak di Indonesia menjadi bukti relasi antara masa lampau, masa sekarang, dan masa yang akan datang. Keberadaan kita bukanlah hasil keajaiban atau hanya soal saat ini saja, ia terbentuk karena rajutan benang yang disusun dari masa lalu dan harapan untuk masa depan. Seperti kata peribahasa “ada angin, ada pohonnya”, semua hal memiliki akar dan asal-usulnya tersendiri.
Salah satu tempat tinggal raja Jawa Tengah, Keraton Surakarta, meninggalkan narasinya dalam manuskrip yang ditulis oleh KRA Mangkupraja. Manuskrip dengan nama Serat Primbon Mangkuprajan ini disimpan di Museum Radya Pustaka Solo. Selain memuat sejarah akan Keraton Surakarta, naskah ini menyimpan mantra serta doa yang mengandung relevansinya tersendiri pada masa itu. Tentu, jika kita membacanya sekarang, diperlukan kehati-hatian dalam interpretasi tiap kata-katanya untuk dikontekstualisasikan pada masa kini. Selain contoh manuskrip tersebut, peninggalan akan sejarah dalam bentuk teks atau catatan juga hadir bahkan diteliti sampai luar negeri, misalnya di Belanda. Kehadiran naskah atau teks-teks kuno ini menunjukkan bagaimana manusia di masa lampau menavigasi kompleksitas kehidupan.
Apabila kita napak tilas pada kehidupan orang-orang zaman dahulu yang tertuang melalui berbagai manuskrip, unsur magis yang meliputi keagungan kuasa Tuhan dan kemegahan alam kerap kita temui. Melalui hal ini, dibuktikan bahwa hidup berdampingan membentuk relasi antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan alam, bahkan satu kesatuan antara manusia, Tuhan, dan alam—layaknya istilah manunggaling kawula gusti. Frasa manunggaling kawula gusti sendiri bisa diartikan dalam berbagai cara. Salah satu interpretasi mengartikan bahwa ajaran ini membicarakan soal hubungan yang simetris antara masyarakat dengan pemimpinnya. Di sisi lain, keseimbangan hubungan antara manusia dengan Tuhan merupakan interpretasi yang diterima secara luas soal konsep ini. Konon, istilah ini disebarkan oleh seorang sufi dari Persia dan diperkenalkan sebagai bentuk nasehat atau amanat kepada raja-raja yang berkuasa di tanah Jawa sekitar abad ke-14. Jika mengacu pada manuskrip, kita dikenalkan dengan amanat serta doa-doa penuh harap terdahulu yang dipanjatkan kepada Tuhan demi menapak pada kenyataan.
Melestarikan manuskrip atau bahkan mengambil relevansinya untuk masa kini perlu dimulai dengan pembiasaan rutinitas dari masyarakat saat ini, atau mudahnya, dengan menciptakan ekosistem dengan visi serta misi pendekatan terhadap manuskrip. Hal inilah yang disampaikan penjaga setia manuskrip nusantara, Oman Fathurahman—atau kerap disapa Kang Oman—dalam JalinTalks bersama Hilmar Farid. Manuskrip yang sudah ditemukan di Indonesia menyimpan catatan-catatan akan perjalanan yang terdahulu, amanat, hingga doa-doa serta ritual yang dihidupi pada zamannya masing-masing. Manuskrip menjadi tonggak sejarah akan keberagaman yang sudah muncul bahkan sebelum abad ke-15. Kang Oman merefleksikannya dengan ungkapan “keberagaman dan keber-agama-an”, yang menitikberatkan pada jati diri masyarakat kita yang sudah lama dekat dengan sang Pencipta demi merajut memori secara bersama-sama. Kolektivitas yang ditekankan di sini tak hanya terjalin melalui relasi material, tetapi juga spiritual. Dewasa ini, manuskrip tersebut dapat dilihat sebagai bentuk kebijaksanaan raja-raja zaman dahulu, seperti yang dikatakan Kang Oman.
Manuskrip yang bertahan sampai saat ini biasanya telah bertransformasi menjadi nilai yang dianut dalam masyarakat—seperti contohnya keyakinan akan Yang Maha Kuasa. Manuskrip yang kerap ditulis dalam bahasa Jawa, Pegon–aksara Arab yang digunakan untuk menulis bahasa Jawa—juga aksara lainnya, kini beralih fungsi menjadi sarana pembelajaran untuk bahasa hingga aksara terkait. Secara isi, manuskrip tetap ditelaah sebagai bentuk pelestarian dan rangkuman ingatan terdahulu. Secara keberadaan, manuskrip didata, dijaga, dan diarsipkan dalam suatu institusi. Terdapat hubungan resiprokal saling berbagi dan menerima antara masa lalu dan masa kini dari proses pembacaan manuskrip, di mana kita dapat bercermin pada kehidupan terdahulu dengan kontekstualisasi masa kini. Seperti yang dikatakan Kang Oman dalam JalinTalks, jika kita ingin mempertahankan dan melestarikan manuskrip, perlu ada edukasi atau proses preservasi yang benar dalam menyimpan manuskrip yang ada. Hal ini ke depannya akan menciptakan ekosistem yang mengenal dan berkesadaran terhadap manuskrip.
Dalam menelisik peran memori kolektif, penciptaan ekosistem apresiasi akan manuskrip ini penting dilakukan, guna mengingat jati diri kita. Manusia sebagai makhluk sosial menghidupi kehidupan kolektif demi menapak pada realitas, entah beraktivitas seperti makan sampai bekerja sekalipun, peran-peran individu lain selalu hadir. Memori yang hadir dari keberadaan manuskrip, menciptakan semacam proses napak tilas akan kehidupan masyarakat pada masa lampau hingga asal-usul keseharian dan nilai. Hal ini merupakan manifestasi peribahasa “ada angin, ada pohonnya”. Peran manuskrip bukan sekedar menyodorkan narasi “ini adalah kehidupan di masa lalu”, tetapi menjelaskan proses keseharian yang masih bertahan hingga saat ini, menyuguhkan pembelajaran yang dikatakan kang Oman sebagai kebijakan. Mengutip langsung apa yang Kang Oman sampaikan, “Kebijakan tanpa melihat masa lalu adalah kebijakan tanpa kebijaksanaan.” (MT/AM)
Artikel ini mengutip percakapan antara Oman Fathurahman dan Hilmar Farid dalam siniar JalinTalks with Hilmar Farid. Percakapan penuhnya dapat didengarkan di episode “Oman Fathurahman: Menjalin Keberagaman dan Keber-agama-an | JalinTalks w/ Hilmar Farid Ep #4”